Loading....

Dipilih Oleh Rakyat, Dapatkah Partai Memecat Anggota DPR ?

Dalam perpolitikan nasional Indonesia, kasus diberhentikannya seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) seringkali memunculkan kegaduhan opini publik, termasuk timbulnya debat hukum terkait apakah sebuah partai berhak memberhentikan anggota DPR RI yang notabene dipilih oleh rakyat.

Sebagai contoh, kasus pemecatan Fahri Hamzah dari PKS, Lily Wahid dan Effendi Choirie (Gus Choi) dari PKB, dan Jhoni Allen Marbun (JAM) dari Partai Demokrat, merupakan sederet kasus pemberhentian anggota DPR RI yang membetot perhatian publik.

Ada yang berpendapat tidak seharusnya orang yang dipilih rakyat dapat diberhentikan di tengah jalan oleh partai. Ada yang berargumen partai politik tidak tepat jika bertindak otoriter mengingat partai adalah lembaga yang dibutuhkan dan mutlak ada di alam demokrasi yang sehat. Ada juga yang menilai sah sah saja, sebab memang secara hukum dimungkinkan sebuah partai memecat anggota DPR RI.

Lalu, bagaimana proses pemberhentian seorang anggota DPR RI? Dapatkah sebuah partai sewenang-wenang memecat anggota DPR RI yang merupakan pemegang mandat dari rakyat?

Harus dipahami bersama, bahwa seorang anggota DPR RI harus dan wajib terdaftar sebagai anggota partai politik. Keharusan ini tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau akrab disebut UU MD3.

Dalam UU MD3, khususnya pada BAB III tentang DPR, Bagian Kesatu yang membahas terkait Susunan dan Kedudukan, di Pasal 67 menegaskan bahwa: ‘’DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.’’

Diktum di atas berarti bahwa seorang anggota DPR RI haruslah sekaligus sebagai anggota suatu partai politik. Kehilangan keanggotaan sebagai anggota partai juga berarti hilangnya syarat menjadi anggota DPR RI.

Dasar hukum di atas itulah yang menjadi alasan banyak anggota DPR RI lebih cemas dan takut terhadap elit partai ketimbang kepada masyarakat yang notabene sebagai pemilih yang mengantarkan seseorang jadi anggota dewan. Maka, ada saja kebijakan DPR RI yang ditentang masyarakat luas tapi tetap dijalankan mengingat elit partai menginginkan hal tersebut.

Keberlanjutan seseorang menjabat sebagai anggota DPR RI sangat ditentukan sikap oleh partai. Terlebih dalam Pasal 87 berbunyi: ‘’Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) berhenti dari jabatannya karena: Meninggal dunia, Mengundurkan diri, atau diberhentikan.

Sedangkan pada Ayat (2) dijelaskan: Pimpinan DPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:

  1. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun.
  2. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan DPR.
  3. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  4. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  5. ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya.

Poin d dan e yang memberikan kekuasaan besar partai politik untuk mengusulkan atau menarik keanggotaan partai seorang anggota DPR RI tentu saja menjadi momok bagi anggota Dewan.

Seorang DPR RI boleh saja duduk di Senayan karena dipilih oleh 500.000 pemilik suara, tapi ketika sudah jadi anggota dewan, kedudukan, dan nasibnya ada di tangan elit sebuah partai politik. Rakyat tidak bisa menghentikan DPR RI di tengah jalan seberapapun buruk kinerjanya, tapi partai justru bisa melakukannya karena memang dibenarkan oleh hukum.

Selain itu sesuai Pasal 12 huruf g dan h Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan, Partai Politik berhak:

  1. mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  2. mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Terlebih, keputusan dan ketetapan seorang menjadi anggota DPR RI berada di tangan Presiden melalui surat Keputusan Presiden (Keppres) sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Selain Keputusan Presiden yang dijadikan dasar melantik anggota DPR RI terpilih, Keputusan Presiden juga menjadi dasar Pergantian Antar Waktu (PAW). Hal ini biasanya dilakukan terhadap Anggota DPR RI yang meninggal, mengundurkan diri atau diberhentikan saat sedang menjabat sebagai wakil rakyat.

Terdapat sejumlah alasan yang menyebabkan anggota DPR dapat diberhentikan. Merujuk pada peraturan ini, anggota DPR dapat diberhentikan jika:

Pertama, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota selama tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun.

Kedua, melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik.

Ketiga, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Keempat, diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kelima, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Keenam, melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Ketujuh, diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedelapan, menjadi anggota partai politik lain.

Pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud dalam poin ketiga, empat, tujuh, dan delapan diusulkan oleh ketua umum partai politik dan sekretaris jenderal kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada presiden. Presiden lalu akan meresmikan pemberhentian anggota DPR tersebut.

Ketentuan-ketentuan di atas menjadi realitas hukum dan politik yang menyebabkan anggota DPR RI lebih tunduk pada partai politik ketimbang masyarakat. Sebab walaupun rakyat yang memilih dan mengantarkan seorang jadi DPR RI, faktanya partai politik lah yang berwenang menentukan nasib dan keberlanjutan jabatan anggota DPR RI.

Setelah suara Daftar Pemilih Tetap (DPT) diberikan ke kotak suara, setelahnya kedaulatan rakyat terputus dan digantikan kekuasaan partai yang mengendalikan seorang anggota DPR RI. Ketika menjadi DPR RI harus sebagai anggota partai, maka kehilangan status keanggotaan partai sangat dihindari oleh seorang legislator.

Seorang DPR RI tentu tidak ingin berlawanan dengan pengurus partai atau ketua umum partai atau sebutan lain. Karena jika sampai dipecat oleh partai, anggota DPR RI dengan sendirinya gagal memenuhi syarat sebagai anggota DPR RI terlepas sebelumnya ia dipilih ratusan ribu orang sekalipun.

Salah satu penyebab terbanyak seorang tidak lagi memenuhi syarat sebagai DPR RI, yaitu tercantum dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, khususnya ayat (1) poin d, yaitu dipecat sebagai kader partai karena melanggar AD dan ART partai. Sehingga partai pun akhirnya berhak mengusulkan penggantinya.

Karena dianggap melanggar AD dan ART partai, seorang anggota DPR RI mendapat pemecatan. Karena sudah dipecat, ia kehilangan status keanggotaannya sebagai anggota partai. Secara serta merta, gugur pula keanggotaannya sebagai anggota DPR RI karena untuk duduk sebagai anggota DPR RI harus juga sekaligus anggota partai politik (Pasal 67 UU Nomor 17 tahun 2014).

Sebanyak apapun suara yang dapat dikumpulkan anggota DPR RI, dengan selembar kertas yang berisi pemecatan dirinya sebagai anggota partai, maka jabatan dan kewenangannya akan runtuh seketika. Sistem pemilu di Indonesia, khususnya keterpilihan seorang menjadi anggota DPR RI tidak mengenal suara personal, semua adalah suara partai.

Sebanyak apapun suara yang didapat seorang calon legislatif (Caleg), bahkan kalaupun ratusan ribu orang mencoblosnya karena kualitas diri seorang caleg, tetap saja suara pemilih yang terkumpul menjadi milik partai, bukan miliki pribadi seorang tersebut.

Caleg di Indonesia lebih mirip sebagai agen pengumpul suara, dan kantong penampungan suara ada di partai. Setelah suara yang didapat caleg disetorkan ke partai, selamanya suara itu dikonversi menjadi suara milik partai.

Ditulis oleh: Dr. Muhajir, S.H., M.H.
Komisi Pengawas DPN PERADI , Senior Partner’s LABH AL BANNA.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

error: Maaf Anda Tidak Kami Izinkan !!
//

Halo, Ada Yang Bisa Kami Bantu ?

Back To Top