Pada dasarnya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat akta nikah (Pasal 7 ayat (1) KHI). Dari hal itu memberikan makna bahwa pasal tersebut hadir sebagai representasi dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa :
- Perkawinan adalah sah, apabilah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
- Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Maka jika memahami Pasal 2 tersebut perkawinan akan sah jika dilakukan menurut agamanya dan dicatatkan. Maka, dengan kata lain perkawinan yang sah harus legal dan memiliki legalitas karena itu adalah syarat yang mutlak diberikan oleh Undang-Undang.
Adanya perkawinan yang dilakukan secara dibawah tangan atau sirih masih menjadi suatu persoalan yang klasik yang sampai saat ini masih terjadi, akibatnya tidak adanya Akta Nikah yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang karena tidak adanya pencatatan perkawinan yang dilakukan. banyak hal yang menjadi alasan,terkait perkawinan dibawah tangan. Walaupun memang pada dasarnya Perkawinan adalah hak setiap individu yang ada. Namun, legalitas tetap harus dikedepankan dan dipatuhi karena akan lebih menguntungkan untuk pribadi dan juga untuk keturunannya seperti yang diamanatkan dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945.
Bahwa selain dari perkawinan sirih, perkawinan yang dilakukan sebelum Undang-Undang Perkawinan diberlakukan juga menjadi faktor adanya perkawinan yang tidak memiliki Akta Nikah. Akibat hukum yang lain akan muncul seiring tidak adanya Akta Nikah untuk membuktikan keabsahan perkawinan, mulai dari persoalan pencatatan administrasi kependudukan dan akan kesulitan untuk melakukan tindakan yang salah satu syaratnya harus ada Akta Nikah bagi orang yang telah menikah yang kemudian akan menjadi persoalan yang serius adalah terkait anak yang dilahirkan.
Lantas yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana ketika Perkawinan itu dilakukan sebelun tahun 1974 dan bagaimana jika seseorang tidak bisa menunjukan akta nikah yang sah atau bagaimana ketika akta nikah hilang dan tidak ada salinannya di Kantor Urusan Agama ? Karena pada dasarnya Akta Nikah selain merupakan legalitas dari perkwinan juga akan sangat penting untuk pencatatan administrasi kependudukan terlebih untuk keperluan anak yang dilahirkan dan terkait persoalan-persoalan yang membutuhkan Akta Nikah.
Bahwa terkait perkawinan yang dilakukan sebelum tahun 1974, hilangnya akta nikah ataupun pernah melakukan perkawinan sirih. Maka, hal yang demikian dapat diajukan permohonan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama khusunya bagi mereka yang beragama Islam. Itsbat nikah dapat diajukan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam “ dalam hal Perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Itsbat Nikahnya ke Pengadilan Agama” kemudian dalam Pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa :
“Itsbat Nikah yang dilakukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan
- Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
- Hilangnya Akta Nikah
- Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
- Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 dan
- Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halanganperkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Bahwa terkait pengajuan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama hal yang demikian tersebut merupakan kopetensi Absolut dari Pengadilan Agama sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor : 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan ke dua Atas Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama.
Bahwa pengertian Itsbat Nikah sendiri adalah pengesahan perkawinan yang dilakukan dibawah tangan atau sirih oleh seorang yang Bergama islam dan telah memenuhi syarat dan rukun kawin yang belum memiliki akta nikah atau perkawinannya tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA).
Bahwa untuk mengajukan Itsbat Nikah dapat dilakukan oleh suami/istri atau anak-anak mereka, wali nikah atau orang yang memiliki kepentingan dalam perkawinan itu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam. Pengajuan dapat dengan mengajukan Surat Permohonan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama setempat dengan didukung oleh alat-alat bukti yang sah berdasarkan Undang-Undang.
Bahwa setelah mendapatkan Penetapan dari Pengadilan agama kemudian dapat mendatangi Kantor Urusan Agama dengan membawa Penetapan dari Pengadilan Agama guna untuk mencatatkan Perkawinan yang telah disahkan dan ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
Dasar Hukum :
Pasal 28B UUD 1945
Undang-Undang Nomor : 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor : 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan ke dua Atas Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama
Kompilasi Hukum Islam
Penulis Oleh : Aris Arianto, SH.